FILOSOFI KOBOI UNTUK PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KELUARGA
FILOSOFI KOBOI
UNTUK PENGUATAN
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KELUARGA
Oleh : Arman, S.Pd, M.Pd (Guru SMAN 3 Majene)
Karakter tidak dapat
diperoleh dengan mudah dalam kesenyapan,
Ia hanya dapat
diperoleh dari pengalaman, ujian dan penderitaan
yang memperteguh jiwa dan membersihkan visi (Hellen Keller)
Menakar tentang pendidikan karakter
dalam dunia pendidikan sejatinya terkait langsung dengan kehakikian sebagai
seorang manusia. Mengapa tidak, potensi karakter yang baik sebenarnya telah
dimiliki oleh seorang manusia sebelum dilahirkan. Dalam pandangan Islam, ini
sesuai dengan hakikat penciptaan manusia oleh Allah ke muka bumi. Bukankah
manusia terlahir ke dunia dengan diawali dengan perjanjian manusia terhadap
Tuhannya (QS. Al-Araf 7:172) yang artinya : Bukankah Aku ini Tuhanmu? Maka
manusia menjawab, betul Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi. Dari firman
Allah tersebut sudah sangat jelas bahwa perjanjian antara manusia dengan
Tuhannya sudah dimulai sejak ia dilahirkan ke bumi. Hal ini berarti bahwa
potensi kebaikan sudah ada dalam diri manusia sejak pertama kali dilahirkan ke
dunia.
Menurut Muchlas Samani (2010), pendidikan seharusnya diarahkan untuk membekali anak didik agar dapat sukses
dalam menghadapi problema kehidupan yang beraneka ragam. Lebih jauh dikemukakan
bahwa arah pendidikan seperti itu disebut sebagai pendidikan berbasis luas (broad basic education) dimana arah
pendidikan tersebut diutamakan pada kemampuan anak meraih sukses kehidupan
dengan berbagai dimensinya dan bukan sekedar nilai bagus dalam ijazah.
Dikebanyakan kelurga target pencapaian pendidikan
karakter tampaknya baru hanya sebatas perintah yang memaksa, yang harus dituruti oleh anak, dan belum ada aktifitas nyata
dalam menjabarkan budaya yang
berkarakter dalam kehidupan berkeluarga. Orangtua
baru pada taraf menyatakan keinginan agar siswa menunjukkan perilaku beradab,
santun, dan berbudi, tetapi kita belum melakukan sesuatu untuk membantu anak berproses kepada pencapaian
keinginan tersebut. Yang kita lakukan hanya menuliskan target, menyampaikan keanak perilaku yang diharapkan, serta
ancaman yang akan mereka terima jika tidak bisa menunjukkan perilaku tersebut
Pendidikan karakter dalam keluarga sangat memegang
peranan penting bagaimana anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan tabiatnya.
Artinya bahwa, karakter anak akan tumbuh dengan baik, apabila peranan orangtua
dan orang-orang yang ada disekelilingnya mau dan mampu serta dapat memahami
arah dan kemauan anak tersebut. Mendidik karakter anak zaman sekarang, dibutuhkan
kesabaran. Membahas tentang kesabaran dalam mendidik karakter anak, saya teringat sebuah tulisan oleh Lou Anne
Johnsons yang menyebutkan salah seorang profesor dari mexico. Dia bernama Craig
Cameron. Dia adalah seorang sang “profesor koboi”. Dia digelari
dengan profesor koboi karena kesabarannya mendidik kuda-kuda liar yang
dipeliharanya. Bagaimana dengan kesabarannya tersebut dia mendidik kuda-kuda
liar tersebut menjadi jinak dan patuh pada perintah tuannya.
Istilah
filosofi koboi lahir dari seorang Lou Anne Johnson yang terinspirasi dari
seorang yang bernama Craig Cameron dari Mexico. Lou Anne Johnson (2009)
mengemukakan bahwa, menjinakkan murid-murid liar sama dengan mengendalikan
kuda-kuda liar. Lebih lanjut Lou Anne Johnsons mengemukakan bahwa seorang
Cameron bekerja dengan dua kuda liar di sore hari, dimana kuda yang satu belum
pernah dinaiki sama sekali dan kuda satunya lagi menolak dengan keras ketika
hendak dipasangi sadel. Lou Anne Johnsons dalam ceritanya, menguraikan bahwa
pada dua kondisi tersebut, Cameron mampu menaiki dan mengendalikan kedua kuda
tersebut selama satu jam, tanpa pernah meninggikan suaranya ataupun menggunakan
kekerasan sama sekali.
Dalam praktek menaklukkan kedua kuda
liar tersebut, Cameron berkata pada semua orang yang berkumpul di arena kuda
tempatnya bekerja, “hal terakhir yang ingin saya lakukan adalah menganalisis
jiwa setiap kuda, saya total dalam mengerjakannya sehingga saya dapat
memanfaatkannya, saya ingin menghubungkan kuda tersebut dengan tingkatannya sendiri
dan dengan jadwal waktunya. Jika anda ingin seekor kuda yang mempunyai perilaku
baik, anda tidak dapat memaksakan segala sesuatu kepadanya, anda harus
memberinya waktu untuk membaca apa yang sebenarnya anda ingin lakukan.” (Lou
Anne Johnsons; 2009).
Dalam menaklukkan kuda
liar tersebut, Cameron mengambil sebuah alas sadel dan berjalan menuju kuda
yang ingin dia taklukkan. Kuda itu memandang alas itu dan berlari kearah yang
berlawanan (persis seperti siswa kita yang melarikan diri dari pelajaran-pelajaran
yang sulit dan aturan yang mengikatnya). Alih-alih mengejar kuda itu atau
mencoba memojokannya, Cameron tetap saja berdiri dan menunggu sampai si kuda
tersebut berhenti berlari dan karena rasa ingin tahunya, si kuda akan mendekat
ke arah alas tersebut untuk mencari tahu. Cameron membiarkan kuda tersebut
mengendus dan menggigit alas itu, kemudian dia menyapukannya dengan lembut alas
itu kekaki dan perut si kuda itu, sebelum memasangnya dipunggung kuda tersebut.
Tiba-tiba si kuda menendang alas tersebut dan berlari. Cameron mengambil alas
itu dan menunggu sampai si kuda itu kembali lagi. Puas karena merasa tidak ada
bahaya lagi, si kuda akhirnya berdiri tenang dan menerima alas itu dan dipasang
dipunggungnya.(Lou Anne Johnsons;2009).
Deskripsi
tersebut di atas, dapat diargumentasikan bahwa, bisa saja si kuda tersebut
dikejar dan dipasang secara paksa alas tersebut di punggungnya, tetapi kuda
tersebut pasti akan memberikan perlawanan dan penghindaran sama seperti yang
dilakukan si kuda di awal tadi. Deskripsi pengalaman Cameron tersebut di atas,
mungkin kita dapat membawa ruang berfikir kita pada keluarga kita sendiri. Anak-anak kita
diibaratkan sama dengan kuda. Ketika jiwa mereka menolak terhadap sebuah
aturan, perintah, pelajaran dan pelanggaran yang lain, kemudian memaksanya
melakukan tindakan sesuai dengan yang kita inginkan maka otomatis jiwa mereka
telah dipatahkan, kepribadian mereka dikungkung oleh seperangkat tindakan kita
dengan metode pemaksaan. Yang pada akhirnya akan melahirkan jiwa-jiwa pemberontak,
pribadi yang mall adjusted , pribadi
yang liar dan melahirkan segala macam tindakan negatif. Lebih fatal lagi,
ketika jiwa yang menolak tadi, melahirkan tindakan kekerasan untuk mengamankan
dan menghalau diri siswa sendiri ke zona yang nyaman bagi jiwa dan
kepribadiannya
Kesimpulan yang
dapat diambil, pertama, bahwa mendidik karakter pada dasarnya lebih menekankan
pada proses habituasi, yaitu pengkondisian, pembiasaan, pelatihan, pembimbingan
dan pemberian contoh dengan cara yang berkarakter.
Kedua, mendidik karakter anak harus melibatkan seluruh aspek dan
fungsi kerja otak, fungsi emosi dan psikomotorik. Ketiga, tindak kekerasan yang
terjadi dalam satu keluarga
menandaskan bahwa masih belum adanya regulasi yang tepat yang dikeluarkan oleh
pemerintah, kemudian belum sempurnanya cara pendidikan karakter yang dilakukan
oleh seorang orangtua.
Penulis berharap bahwa dalam
mendidik karakter diperlukan keterlibatan semua pihak dalam mencetuskan sebuah
terobosan baru untuk mendidik karakter anak.
Terobosan tersebut dapat berasal dari pemangku kepentingan, para tokoh
pendidikan, tokoh agama, tokoh masyarakat dan semua steak holder dalam dunia
pendidikan, terlebih orangtua
dirumah sebagai peletak dasar karakter anak untuk pertama kalinya.
Posting Komentar untuk "FILOSOFI KOBOI UNTUK PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KELUARGA"